Senyum Voni

on Rabu, 13 Februari 2013

Semilir angin membelai lembut wajah Voni yang nampak pucat. Matanya juga merah membengkak. Ya, hampir seharian ia duduk sendiri di gubuk kecil di pinggir sawah itu, terisak meratapi semua yang terjadi. Ia menyandarkan kepalanya yang terasa sangat berat karena masalah yang menderanya itu ke dinding gubuk yang terbuat dari anyaman bambu. Sesekali ia pejamkan matanya yang terasa panas sambil sesenggukan, hingga akhirnya tanpa ia sadari, ia tertidur sejenak.
Tak berapa lama kemudian, ia terjaga dari tidurnya. Di dekatnya ada sosok seorang gadis yang sebaya dengannya sedang duduk dan seolah menungguinya. Ia terperanjat.
“Eh, kamu sudah bagun ya, Von?” tanya gadis itu.
Tak ada sahutan. Penglihatan Voni masih agak kabur, dipejamkannya matanya sejenak, kemudian dibukanya, ia melakukan itu berulang-ulang.
“Von, kamu kenapa?” tanya gadis itu penuh heran.
Voni tak menyahut. Ia mengucek-ngucek matanya sambil menghapus bekas air mata yang tadi mengalir di pipinya.

“Kamu habis menangis ya, Von?” tanya Linny lagi
“Eh… e.. ee.. enggak kok, Lin. Aku tidak menangis, malahan aku bahagia.” jawab Voni mengelak sambil memaksakan tersenyum lebar, namun nampak jelas bahwa senyum kaku itu memang ia paksakan.
“Ah… kamu tidak bisa membohongi aku, Von.” sahut Linny sambil menepuk bahu Voni.
Voni diam. Ia hanya menunduk dan tatapannya kosong.
“Von…!” Kata-kata Linny mengagetkan Voni.
“Sudahlah, Lin. Aku tidak apa-apa. Sudah sore nih, pulang yuk!” elak Voni sekali lagi.
Voni beranjak dari gubuk kecil itu dan melangkah pulang. Tatapan Linny mengiringi kepergian Voni, hingga akhirnya Voni menghilang dari pandangannya. Sementara itu, Linny masih bingung dengan berbagai pertanyaan di kepalanya tentang apa yang sebenarnya sedang dialami oleh sahabat baiknya, Voni.
“Ah… Voni yang aneh.” gerutu Linny sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian Linny pun melangkah pulang.

***
 Beberapa hari berlalu, Voni sudah tampak biasa. Saat bertemu dengan Linny di depan rumah pun ia juga kelihatan gembira.
“Hai, Lin!” sapa Voni kepada Linny diiringi senyum manisnya.
“Oh, hai. Kamu mau berangkat ke sekolah ya, Von?” balas Linny.
“Iya, kamu juga mau berangkat, Lin?” tanya Voni.
“Iya, Von. Eh, kita berangkat bareng yuk!” ajak Linny.
“Em… lain kali saja ya, Lin.” jawab Voni.
“Ya sudah, kalau begitu aku berangkat dulu ya.” kata Linny. Kemudian ayahnya kembali memacu sepeda motornya.
“Hati-hati, Lin!” kata Voni setengah berteriak.
Kemudian Voni mengayuh sepeda mini warna ungu miliknya menuju ke sekolah. Walaupun jarak antara rumah Voni dan SMP tempatnya menimba ilmu cukup jauh, Voni tetap semangat bersekolah.
Semua orang yang kenal dekat dengan Voni, pasti akan kagum dengannya. Voni memang anak yang rajin dan juga seorang yang sangat tegar serta periang. Dia juga ramah dan murah senyum. Namun, di balik semua itu, dia juga menyimpan luka yang sangat mendalam. Dia sangat merindukan kasih sayang dari ayah dan ibunya.
Bagaimana tidak, semenjak orang tuanya memutuskan untuk berpisah, ia tidak lagi tinggal dengan mereka. Awalnya ia memang diasuh oleh ibunya, tetapi tak lama kemudian, ibunya pergi ke Hongkong untuk menjadi TKI. Sementara itu, ayahnya menikah lagi. Dan sejak saat itulah hari-hari Voni menjadi buram tanpa kehangatan kasih sayang seperti yang selalu didapatkan oleh anak-anak seusianya. Ia seolah-olah menjadi sebatang kara, seperti sampan kecil yang terombang-ambing di tengah lautan luas tanpa tujuan.
            Voni dititipkan kepada paman dan bibinya. Awalnya paman dan bibi Voni bersikap baik kepadanya, tetapi itu tak lama, kemudian Voni diminta untuk membantu pekerjaan rumah, mulai dari menyapu, mencuci piring sampai mencuci baju. Tugas-tugas itu memang sangat berat bagi anak kecil seusia Voni yang harusnya masih bisa bermain-main, namun Voni harus rela kehilangan waktunya yang harusnya ia gunakan untuk bermain itu. Namun Voni tak pernah mengeluh walaupun ia memang sangat kecapaian dengan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Ya, barangkali dia, yang sangat polos itu tak mengerti caranya untuk protes kepada paman dan bibinya, atau mungkin ia takut untuk melakukannya.
***
            Pernah suatu hari ketika masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar, Linny datang ke rumah paman dan bibi Voni untuk mengajak Voni bermain.
“Tok… Tok… Tok…” terdengar ketukan pintu dari luar rumah.
Voni hendak membuka pintu, tetapi ia kalah cepat dengan Ivan, anak laki-laki bibinya. Voni kembali meneruskan pekerjaannya yang belum selesai.
Sreekkk… pintu yang agak seret itu berderit ketika Ivan menariknya. Di luar berdiri seorang anak seumuran dia. Ya, itu Linny, teman sekelasnya.
“Eh kamu, ayo masuk, Lin!” ajak Ivan mempersilakan Linny masuk.
Linny melangkahkan kakinya perlahan, kemudian matanya menangkap sosok seorang anak yang sedang duduk bersila sambil menggilas-nggilas cabai, bawang merah dan bawang putih, serta bumbu lainnya untuk dijadikan sambal. Linny tercengang, ia tertegun sejenak.
“Tak salah lagi, itu pasti Voni.” pikir Linny.
“Kamu ada perlu apa, Lin?” tanya Ivan menyadarkan Linny yang masih saja diam terbengong-bengong.
“Tidak, tidak apa-apa. Aku hanya ingin main dengan Voni.” jawab Linny.
“Ohh, itu Voni. Tapi dia masih membuat sambal tuh, ditunggu dulu ya!” kata Ivan sambil menunjuk Voni.
“Ya sudah, aku ke belakang dulu ya.” kata Ivan kemudian.
“Oh, iya iya.” jawab Linny.
Linny masih tidak percaya dengan yang ia lihat. Ia tidak habis pikir, kok bisa anak kecil disuruh membantu pekerjaan rumah yang cukup berat bagi anak seumuran dia.
Perlahan Linny melangkah mendekati Voni.
“Voni, aku mengganggu tidak?” tanya Linny agak pelan.
“Eh tidak, Lin.” jawab Voni pelan.
“Main yuk!” ajak Linny.
“Tunggu sebentar ya, aku harus menyelesaikan ini dulu. Setelah itu, aku harus mencuci piring. ” jawab Voni sambil terus memainkan cobeknya.
“Siapa yang menyuruh kamu mengerjakan semua ini? Mengapa kamu mau mengerjakannya? Apa kamu tidak kelelahan?” tanya Linny yang lugu itu, memberondong Voni dengan pertanyaan yang sangat ia inginkan jawaban atas semua itu.
“Nanti aku akan cerita semua ke kamu.” jawab Voni sambil membimbing Linny ke arah Sofa.
“Tapi Von…” sahut Linny agak kecewa.
“Sudah, kamu tunggu di sini dulu. Aku selesaikan dulu tugasku, aku takut bibiku marah.” kata Voni sambil melanjutkan tugasnya.
Linny terdiam, ia iba dengan Voni. Ingin rasanya ia membantu Voni, tetapi tentu saja Voni akan melarangnya, karena ia takut ketahuan bibinya.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Voni meminta izin kepada bibinya untuk bermain bersama Linny.
“Bibi… Aku sudah menyelesaikan tugasku, sekarang aku boleh main sama Linny kan? tanya Voni.
“Ya, tapi jangan lama-lama.” jawab Bibi Voni agak ketus. Mungkin sebenarnya ia tidak membolehkan Voni untuk bermain, tetapi karena ada Linny juga ia terpaksa mengiyakan saja.
“Von, kamu kok betah tinggal dengan bibimu yang galak itu?” tanya Linny.
            “Sebenarnya aku juga tidak betah, tapi bagaimana lagi, aku harus tinggal dengan siapa kalau bukan dengan mereka?” jawab Voni dengan nada agak bertanya
tapi tentu tak membutuhkan jawaban.
            “Ayah dan ibumu kemana?” tanya Linny kemudian.
            “Ayahku… aku tidak tahu dia dimana sekarang. Sedangkan ibuku, dia kerja di luar negeri.” jawab Voni lirih.
            “Ohh…” sahut Linny hampir tak terdengar.
“Tiduran di situ yuk!” ajak Voni.
Kemudian mereka berdua merebahkan badan di sebuah gubuk pinggir sawah di dekat tanah lapang. Keduanya membisu cukup lama, memandangi langit dengan tatapan kosong, berandai-andai tentang hal-hal yang indah dan menyenangkan. Pikirannya terbang melayang entah kemana, mereka asyik berimjinasi sambil sesekali tersenyum.
Tiba-tiba Voni tersentak, ia ingat bahwa ia harus segera pulang sebelum bibinya menghadang di depan pintu dan bersiap untuk memarahinya.
“Lin, aku pulang dulu ya.” teriak Voni sambil berlari meninggalkan Linny.
Linny selalu dibuat jengkel dengan sikap Voni yang demikian, meninggalkannya begitu saja. Namun Linny tak pernah memprotes hal itu, karena ia sudah sangat paham dengan keadaan Voni.
***
Saat mendengar kabar bahwa ibunya akan segera pulang, Voni sangat senang. Tetapi kenyataannya tak seindah itu, ibu Voni memang pulang, tetapi ia tetap tak mendapatkan kasih sayang seperti yang selalu diimpikannya.
Ibu Voni tak kalah galak dengan bibinya. Voni juga sering dimarahi ibunya. Parahnya lagi, itu berlangsung cukup lama, bahkan hingga saat ini ibunya terkadang masih memarahinya.
 Voni pun pernah berpikiran untuk pergi dari rumah, ia bermaksud mencari ayahnya. Ia memang berhasil menemukan ayahnya, selama beberapa hari ia tinggal bersama ayah, ibu tiri dan saudara-saudara tirinya. Mereka memperlakukan Voni dengan baik, tetapi Voni tak bisa lama-lama tinggal di sana karena ibunya menyuruhnya agar segera  pulang. Awalnya Voni menolak, tetapi ayahnya memintanya untuk menuruti keinginan ibunya. Karena ia sangat sayang dengan ayahnya, Voni mengiyakan. Ia pun pulang, kembali ke rumah yang sebenarnya ia tak nyaman tinggal di sana.
            Hingga saat ini, Voni masih menjalani hari-harinya tanpa kasih sayang. Ah, betapa sedihnya jika menjadi dia. Tetapi nampaknya Voni memang diberi ketegaran yang luar biasa, ia tak pernah memperlihatkan kesedihannya kepada teman-temannya dan orang-orang di sekitarnya, juga tidak kepada Linny, sahabat karibnya itu. Ia selalu bisa menyembunyikan kesedihannya dengan senyuman manisnya yang begitu menawan.
            Senyumnya adalah penyemangat hidupnya. Senyumnya adalah satu-satunya alasan yang bisa membuatnya tetap tegar menghadapi masalah besar yang selalu menguras air matanya. Ya, hanya senyum itulah yang sedikit mampu menutup pilu hatinya,  pilu karena kerinduan akan kasih sayang dari sosok seorang ayah dan ibu.
            Voni, tetaplah kau tersenyum …!

0 komentar:

Posting Komentar