Seribu Bintang Semalam

on Rabu, 13 Februari 2013

           Setelah ulangan umum kenaikan kelas, sekolahku mengadakan kemah yang bertempat di Jolosutro, Piyungan, Bantul. Kemah diikuti siswa kelas VII dan VIII.
            Kami berangkat dari sekolah dengan menggunakan 2 buah truk, 1 truk untuk mengangkut kami secara bergiliran dan 1 lagi untuk mengangkut perlengkapan kami. Kebetulan reguku dan 2 regu lain berangkat pada giliran ke-3 dan kami sampai di tempat kemah sekitar pukul 10.15 WIB. Setelah mengumpulkan perlengkapan, kami mendirikan tenda. Kemudian beristirahat sambil makan siang.
            Selama kemah banyak kegiatan yang kami lakukan, seperti games, olahraga pagi, jelajah siang, lomba memasak, halang rintang, api unggun dan renungan malam serta pentas seni.
Halang rintang adalah kegiatan jelajah alam yang dilakukan pada malam hari. Inilah kegiatan yang paling berkesan. Begini ceritanya:


Kami berangkat beregu dan didampingi oleh beberapa orang pemandu. Karena seorang pemandu tidak hanya memandu sebuah regu, maka terkadang mereka berjalan lebih cepat daripada kami.
 Dengan berbekal senter dan jas hujan kami menyusuri gelapnya malam dalam hujan. Semakin lama, gerimis yang mengguyur jalanan semakin deras.

“Nik, ayo kita pakai jas hujan! Hujannya makin deras nih.” ajak Putri.
“Yang lain pakai nggak?” tanyaku sambil melihat ke arah teman-teman yang lain.
“Ya udah, ayo berhenti dulu, kita pakai jas hujan!” ajak Loren selaku ketua regu.
Lalu kami berhenti sebentar untuk memakai jas hujan yang memang sudah kami persiapkan sebelumnya.
Kemudian kami melanjutkan perjalanan. Kami melewati jalan yang di kanan kirinya terdapat kebun tebu, di sana suasana gelap semakin terlihat nyata. Setelah itu, kami memasuki perkampungan penduduk yang jalannya mulai menanjak.
Kami terus berjalan, hingga akhirnya kami sampai di ujung desa. Di sanalah ada sebuah rumah yang terakhir kami lihat, karena setelah itu kami hanya melihat ladang dan kebun jati saja. Dan bergantilah jalan yang tadinya rata menjadi jalan berbatu yang kian menanjak.
Hujan mulai reda, tinggal gerimis kecil yang menitik. Kami melepas jas hujan yang kami pakai, kemudian melanjutkan perjalanan yang masih sangat panjang.

“Eh, itu ada makam ya? Ntar kalau lewat situ, jalannya lebih cepat ya!” kata seorang temanku tiba-tiba.

Dan benar saja, ketika lewat di depan makam tersebut, kami bergandengan tangan dan sedikit mempercepat langkah. Kami hanya menunduk sambil memperhatikan jalan berbatu yang kami tapaki yang memang licin karena hujan tadi. Setelah itu, kami melewati kebun jati yang sangat lebat. Ketika itu, terdengar lolongan anjing bersahut-sahutan memecah keheningan dan menambah kengerian, tapi mungkin itu hanya anjing penduduk setempat.
Beberapa saat kemudian, kami sampai di sebuah tempat dimana kami dapat melihat keramaian di bawah sana.

“Nik, lihat itu, lampunya banyak banget, seperti bintang ya” kata Putri sambil memandang ke bawah sana.
“Iya, banyak banget, kayak lautan bintang.” jawabku.
“Eh, pelan-pelan aja jalannya, pemandangannya bagus banget nih.” ajak Warih.
“Iya, pelan-pelan aja, kalau perlu kita berhenti sebentar sambil istirahat.” sambung Loren.

Kemudian kami memperlambat langkah, kemudian berhenti sebentar untuk menikmati keindahan malam. Lampu-lampu yang menyala di rumah-rumah penduduk dan di bangunan-bangunan lain terlihat bagaikan bintang yang sangat banyak. Sedangkan lampu dari kendaraan-kendaraan yang melintas di jalan nampak seperti bintang yang berkelap-kelip. Aku pun takjub dibuatnya. Walaupun itu bukan bintang yang sebenarnya, rasa lelahku sedikit dapat terbayar dengan pemandangan itu.

“Eh, itu udah pada jalan, yuk kita jalan lagi!” ajak Loren.

Karena regu lain sudah melanjutkan perjalanan, kami lalu memutuskan untuk segera mengakhiri keindahan seribu bintang itu.
Kali ini jalan yang kami lalui tak lagi menanjak, tapi sebaliknya, cenderung menurun. Jalannya juga berbatu dan cukup terjal, jadi kami harus lebih berhati-hati.
            Tiba-tiba kepalaku mulai pusing, mungkin karena kedinginan dan jalan yang menurun itu. Karena tidak ingin merepotkan teman-temanku, aku menahannya. Beberapa saat kemudian, kami keluar dari hutan dan sampai di sebuah tempat, di sana ada regu-regu lain yang sedang beristirahat. Lalu kami ikut beristirahat. Kulihat Astry juga agak pucat, mungkin ia juga pusing. Lalu kami sejenak melepas lelah sambil memakan bekal.

            “Ini, minum dulu! Kamu pasti haus.” kata Loren sambil menyodorkan botol minuman kepadaku.
            “Iya, makasih.” jawabku.

            Kemudian aku meminumnya beberapa teguk, lalu kuserahkan botol itu kepada Astry. Ia juga meminumnya.
Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan perjalanan untuk kembali ke perkemahan. Akhirnya kami sampai di desa penduduk, jalannya sudah bisa dilalui kendaraan.
Tetapi, saat itu aku malah tambah pusing dan perutku juga sakit. Lalu ada alumni yang berbaik hati, ikut menolong yang sakit.

            “Ada yang sakit ga?” tanya mas Adit.
           
            Teman-temanku menyuruhku membonceng mas Adit.

            “Ga, ah. Aku ga enak ama kalian, masa aku ninggalin kalian.” jawabku menolak.
            “Udah ga pa-pa, kamu duluan aja, kita masih kuat jalan kok.” kata Loren.
            “Iya Nik, kamu duluan aja. Ntar kamu malah tambah sakit gimana?” kata Putri.
            “Iya dek, ga pa-pa.” kata mas Adit.

Sebenarnya aku tidak mau, tapi  setelah aku pikir lagi, mungkin lebih baik aku ikut saran teman-temanku, karena mungkin aku bisa pingsan dan malah tambah merepotkan teman-temanku.
Kemudian aku diantar mas Adit kembali ke perkemahan.
Ini belum selesai. Ketika di perjalanan, tiba-tiba ban motor mas Adit pecah. Kemudian dia berhenti.

“Aduh, malah kebanan. Kamu ga pa-pa toh dek? tanya mas Adit.  “Ya udah, kita cari tambal ban dulu ya!” sambungnya.

Mas Adit menuntun motornya, kemudian kami menyusuri jalan untuk mencari tambal ban, namun usaha kami sia-sia, tak satupun yang buka. Wajarlah, karena ketika itu sudah jam 12 malam lebih.
Mas Adit bermaksud menghubungi temannya, tetapi sepertinya baterai hpnya habis, aku juga tidak membawa hp. Lalu mas Adit menghampiri pos jaga polisi di seberang jalan, ia bermaksud untuk meminjam hp.

“Selamat malam, Pak.” sapanya kepada seorang polisi.
“Selamat malam. Ada apa dek?” jawab polisi itu.
“Tadi saya kebanan, cari tambal ban sudah tutup semua. Saya mau menghubungi teman, tapi hp saya baterainya habis, jadi kalau boleh saya mau pinjem hp bapak.” katanya menjelaskan.
“Oh, jam segini memang sudah pada tutup. Ini saya pinjami hp saya.” kata polisi itu sambil menyerahkan hpnya kepada mas Adit.

Kemudian mas Adit menghubungi temannya dan bermaksud untuk meminjam motor temannya itu.

“Ini Pak, makasih.” katanya sambil mengembalikan hp itu.
“Sama-sama. Sudah dek?” jawab polisi itu.
“Iya, sudah Pak.” jawabnya sopan.

Beberapa saat kemudian, temannya datang, lalu dia meminjamkan motornya kepada mas Adit. Kemudian mas Adit mengantarku ke perkemahan, sementara itu temannya menjaga motornya.
Akhirnya kami sampai di perkemahan. Dan aku sangat berterimakasih kepada mas Adit yang telah menolongku.
Kemudian aku mendapat pengobatan seadanya. Setelah teman-temanku datang, aku kembali ke tenda untuk mengganti baju dan kemudian kami membunuh malam yang melelahkan itu dengan berselimut dingin.

Sungguh jelajah 20 km yang tak terlupakan.

0 komentar:

Posting Komentar