Semilir angin
membelai lembut wajah Voni yang nampak pucat. Matanya juga merah membengkak. Ya,
hampir seharian ia duduk sendiri di gubuk kecil di pinggir sawah itu, terisak
meratapi semua yang terjadi. Ia menyandarkan kepalanya yang terasa sangat berat
karena masalah yang menderanya itu ke dinding gubuk yang terbuat dari anyaman
bambu. Sesekali ia pejamkan matanya yang terasa panas sambil sesenggukan,
hingga akhirnya tanpa ia sadari, ia tertidur sejenak.
Tak berapa lama
kemudian, ia terjaga dari tidurnya. Di dekatnya ada sosok seorang gadis yang
sebaya dengannya sedang duduk dan seolah menungguinya. Ia terperanjat.
“Eh, kamu sudah
bagun ya, Von?” tanya gadis itu.
Tak ada sahutan.
Penglihatan Voni masih agak kabur, dipejamkannya matanya sejenak, kemudian
dibukanya, ia melakukan itu berulang-ulang.
“Von, kamu kenapa?”
tanya gadis itu penuh heran.
Voni tak menyahut.
Ia mengucek-ngucek matanya sambil menghapus bekas air mata yang tadi mengalir
di pipinya.
“Kamu habis menangis
ya, Von?” tanya Linny lagi
“Eh… e.. ee..
enggak kok, Lin. Aku tidak menangis, malahan aku bahagia.” jawab Voni mengelak
sambil memaksakan tersenyum lebar, namun nampak jelas bahwa senyum kaku itu
memang ia paksakan.
“Ah… kamu tidak
bisa membohongi aku, Von.” sahut Linny sambil menepuk bahu Voni.
Voni diam. Ia
hanya menunduk dan tatapannya kosong.
“Von…!” Kata-kata
Linny mengagetkan Voni.
“Sudahlah, Lin.
Aku tidak apa-apa. Sudah sore nih, pulang yuk!” elak Voni sekali lagi.
Voni beranjak dari
gubuk kecil itu dan melangkah pulang. Tatapan Linny mengiringi kepergian Voni,
hingga akhirnya Voni menghilang dari pandangannya. Sementara itu, Linny masih
bingung dengan berbagai pertanyaan di kepalanya tentang apa yang sebenarnya sedang
dialami oleh sahabat baiknya, Voni.
“Ah… Voni yang
aneh.” gerutu Linny sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Kemudian Linny pun
melangkah pulang.
***
Beberapa hari berlalu, Voni sudah tampak
biasa. Saat bertemu dengan Linny di depan rumah pun ia juga kelihatan gembira.
“Hai, Lin!” sapa
Voni kepada Linny diiringi senyum manisnya.
“Oh, hai. Kamu mau
berangkat ke sekolah ya, Von?” balas Linny.
“Iya, kamu juga
mau berangkat, Lin?” tanya Voni.
“Iya, Von. Eh,
kita berangkat bareng yuk!” ajak Linny.
“Em… lain kali
saja ya, Lin.” jawab Voni.
“Ya sudah, kalau
begitu aku berangkat dulu ya.” kata Linny. Kemudian ayahnya kembali memacu
sepeda motornya.
“Hati-hati, Lin!”
kata Voni setengah berteriak.
Kemudian Voni
mengayuh sepeda mini warna ungu miliknya menuju ke sekolah. Walaupun jarak
antara rumah Voni dan SMP tempatnya menimba ilmu cukup jauh, Voni tetap
semangat bersekolah.
Semua orang yang
kenal dekat dengan Voni, pasti akan kagum dengannya. Voni memang anak yang
rajin dan juga seorang yang sangat tegar serta periang. Dia juga ramah dan
murah senyum. Namun, di balik semua itu, dia juga menyimpan luka yang sangat
mendalam. Dia sangat merindukan kasih sayang dari ayah dan ibunya.
Bagaimana tidak, semenjak orang
tuanya memutuskan untuk berpisah, ia tidak lagi tinggal dengan mereka. Awalnya
ia memang diasuh oleh ibunya, tetapi tak lama kemudian, ibunya pergi ke
Hongkong untuk menjadi TKI. Sementara itu, ayahnya menikah lagi. Dan sejak saat
itulah hari-hari Voni menjadi buram tanpa kehangatan kasih sayang seperti yang
selalu didapatkan oleh anak-anak seusianya. Ia seolah-olah menjadi sebatang
kara, seperti sampan kecil yang terombang-ambing di tengah lautan luas tanpa
tujuan.
Voni
dititipkan kepada paman dan bibinya. Awalnya paman dan bibi Voni bersikap baik
kepadanya, tetapi itu tak lama, kemudian Voni diminta untuk membantu pekerjaan
rumah, mulai dari menyapu, mencuci piring sampai mencuci baju. Tugas-tugas itu
memang sangat berat bagi anak kecil seusia Voni yang harusnya masih bisa
bermain-main, namun Voni harus rela kehilangan waktunya yang harusnya ia
gunakan untuk bermain itu. Namun Voni tak pernah mengeluh walaupun ia memang
sangat kecapaian dengan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya. Ya, barangkali
dia, yang sangat polos itu tak mengerti caranya untuk protes kepada paman dan
bibinya, atau mungkin ia takut untuk melakukannya.
***
Pernah
suatu hari ketika masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar, Linny datang ke
rumah paman dan bibi Voni untuk mengajak Voni bermain.
“Tok… Tok… Tok…” terdengar
ketukan pintu dari luar rumah.
Voni hendak
membuka pintu, tetapi ia kalah cepat dengan Ivan, anak laki-laki bibinya. Voni
kembali meneruskan pekerjaannya yang belum selesai.
Sreekkk… pintu
yang agak seret itu berderit ketika Ivan menariknya. Di luar berdiri seorang
anak seumuran dia. Ya, itu Linny, teman sekelasnya.
“Eh kamu, ayo
masuk, Lin!” ajak Ivan mempersilakan Linny masuk.
Linny melangkahkan
kakinya perlahan, kemudian matanya menangkap sosok seorang anak yang sedang
duduk bersila sambil menggilas-nggilas cabai, bawang merah dan bawang putih,
serta bumbu lainnya untuk dijadikan sambal. Linny tercengang, ia tertegun
sejenak.
“Tak salah lagi,
itu pasti Voni.” pikir Linny.
“Kamu ada perlu
apa, Lin?” tanya Ivan menyadarkan Linny yang masih saja diam
terbengong-bengong.
“Tidak, tidak apa-apa.
Aku hanya ingin main dengan Voni.” jawab Linny.
“Ohh, itu Voni.
Tapi dia masih membuat sambal tuh, ditunggu dulu ya!” kata Ivan sambil menunjuk
Voni.
“Ya sudah, aku ke
belakang dulu ya.” kata Ivan kemudian.
“Oh, iya iya.”
jawab Linny.
Linny masih tidak
percaya dengan yang ia lihat. Ia tidak habis pikir, kok bisa anak kecil disuruh
membantu pekerjaan rumah yang cukup berat bagi anak seumuran dia.
Perlahan Linny
melangkah mendekati Voni.
“Voni, aku
mengganggu tidak?” tanya Linny agak pelan.
“Eh tidak, Lin.”
jawab Voni pelan.
“Main yuk!” ajak
Linny.
“Tunggu sebentar
ya, aku harus menyelesaikan ini dulu. Setelah itu, aku harus mencuci piring. ”
jawab Voni sambil terus memainkan cobeknya.
“Siapa yang
menyuruh kamu mengerjakan semua ini? Mengapa kamu mau mengerjakannya? Apa kamu
tidak kelelahan?” tanya Linny yang lugu itu, memberondong Voni dengan
pertanyaan yang sangat ia inginkan jawaban atas semua itu.
“Nanti aku akan
cerita semua ke kamu.” jawab Voni sambil membimbing Linny ke arah Sofa.
“Tapi Von…” sahut
Linny agak kecewa.
“Sudah, kamu
tunggu di sini dulu. Aku selesaikan dulu tugasku, aku takut bibiku marah.” kata
Voni sambil melanjutkan tugasnya.
Linny terdiam, ia
iba dengan Voni. Ingin rasanya ia membantu Voni, tetapi tentu saja Voni akan
melarangnya, karena ia takut ketahuan bibinya.
Setelah
menyelesaikan tugasnya, Voni meminta izin kepada bibinya untuk bermain bersama
Linny.
“Bibi… Aku sudah
menyelesaikan tugasku, sekarang aku boleh main sama Linny kan? tanya Voni.
“Ya, tapi jangan
lama-lama.” jawab Bibi Voni agak ketus. Mungkin sebenarnya ia tidak membolehkan
Voni untuk bermain, tetapi karena ada Linny juga ia terpaksa mengiyakan saja.
“Von, kamu kok
betah tinggal dengan bibimu yang galak itu?” tanya Linny.
“Sebenarnya
aku juga tidak betah, tapi bagaimana lagi, aku harus tinggal dengan siapa kalau
bukan dengan mereka?” jawab Voni dengan nada agak bertanya
tapi tentu tak membutuhkan jawaban.
“Ayah
dan ibumu kemana?” tanya Linny kemudian.
“Ayahku…
aku tidak tahu dia dimana sekarang. Sedangkan ibuku, dia kerja di luar negeri.”
jawab Voni lirih.
“Ohh…”
sahut Linny hampir tak terdengar.
“Tiduran di situ
yuk!” ajak Voni.
Kemudian mereka
berdua merebahkan badan di sebuah gubuk pinggir sawah di dekat tanah lapang.
Keduanya membisu cukup lama, memandangi langit dengan tatapan kosong,
berandai-andai tentang hal-hal yang indah dan menyenangkan. Pikirannya terbang
melayang entah kemana, mereka asyik berimjinasi sambil sesekali tersenyum.
Tiba-tiba Voni
tersentak, ia ingat bahwa ia harus segera pulang sebelum bibinya menghadang di
depan pintu dan bersiap untuk memarahinya.
“Lin, aku pulang
dulu ya.” teriak Voni sambil berlari meninggalkan Linny.
Linny selalu
dibuat jengkel dengan sikap Voni yang demikian, meninggalkannya begitu saja.
Namun Linny tak pernah memprotes hal itu, karena ia sudah sangat paham dengan
keadaan Voni.
***
Saat mendengar
kabar bahwa ibunya akan segera pulang, Voni sangat senang. Tetapi kenyataannya
tak seindah itu, ibu Voni memang pulang, tetapi ia tetap tak mendapatkan kasih
sayang seperti yang selalu diimpikannya.
Ibu Voni tak kalah
galak dengan bibinya. Voni juga sering dimarahi ibunya. Parahnya lagi, itu
berlangsung cukup lama, bahkan hingga saat ini ibunya terkadang masih
memarahinya.
Voni pun pernah berpikiran untuk pergi dari
rumah, ia bermaksud mencari ayahnya. Ia memang berhasil menemukan ayahnya,
selama beberapa hari ia tinggal bersama ayah, ibu tiri dan saudara-saudara
tirinya. Mereka memperlakukan Voni dengan baik, tetapi Voni tak bisa lama-lama
tinggal di sana
karena ibunya menyuruhnya agar segera
pulang. Awalnya Voni menolak, tetapi ayahnya memintanya untuk menuruti
keinginan ibunya. Karena ia sangat sayang dengan ayahnya, Voni mengiyakan. Ia
pun pulang, kembali ke rumah yang sebenarnya ia tak nyaman tinggal di sana.
Hingga
saat ini, Voni masih menjalani hari-harinya tanpa kasih sayang. Ah, betapa
sedihnya jika menjadi dia. Tetapi nampaknya Voni memang diberi ketegaran yang luar
biasa, ia tak pernah memperlihatkan kesedihannya kepada teman-temannya dan
orang-orang di sekitarnya, juga tidak kepada Linny, sahabat karibnya itu. Ia
selalu bisa menyembunyikan kesedihannya dengan senyuman manisnya yang begitu
menawan.
Senyumnya
adalah penyemangat hidupnya. Senyumnya adalah satu-satunya alasan yang bisa
membuatnya tetap tegar menghadapi masalah besar yang selalu menguras air
matanya. Ya, hanya senyum itulah yang sedikit mampu menutup pilu hatinya, pilu karena kerinduan akan kasih sayang dari
sosok seorang ayah dan ibu.
Voni,
tetaplah kau tersenyum …!
0 komentar:
Posting Komentar